Monday, December 29, 2008


UNDANGAN TALKSHOW THE 7 LAWS OF HAPPINESS

Resolusi Tahun Baru untuk Hidup yang Lebih Bahagia
--Oleh Anwar Holid


Tiga bulan terakhir menjelang tahun 2009 ini kita dihantui oleh bencana "Krisis Finansial Global." Secara mengejutkan, krisis yang berdampak besar-besaran ini justru berasal dari negara adidaya Amerika Serikat. Lepas dari bahwa semua pihak bahu-membahu mengatasi persoalan ini, toh pengaruh buruknya telah terasa oleh kita semua, yang paling terasa ini ialah melonjaknya harga, baik untuk barang kebutuhan pokok dan sekunder.

Bagaimana dengan peralihan menuju tahun 2009 yang sebenarnya hanya selisih sedetik saja tepat ketika tengah malam menjelang 1 Januari 2009 nanti?

Time waits nobody, lantun Freddie Mercury. Waktu meninggalkan siapapun; ia jalan terus. Tinggal orang sibuk dan pontang-panting mengisi kehidupannya, berusaha waras menghadapi berbagai peristiwa, yang kadang-kadang bisa begitu berat, menegangkan, melelahkan, bahkan mengancam keselamatan dan kebahagiaan. Mestikah kita kalah oleh berbagai krisis, apa pun bentuknya? Haruskah kita khawatir pada ketidakpastian dan ancaman, seabstrak apa pun perwujudannya? Dan kalaupun kita memang mesti kalah, bagaimana cara paling pantas menghadapinya? Sebab dalam kehidupan ini ada kala kita harus tertunduk menghadapi bencana, sakit, salah prakiraan, maupun kecewa. Arvan Pradiansyah, seorang konsultan SDM yang juga penulis dan pembicara publik, pernah berkata, "Kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran."

Kaifa--penerbit yang fokus pada dunia pembelajaran, motivasi, dan manajemen--menggandeng Arvan Pradiansyah untuk bersama-sama mengajak masyarakat memasuki dan mengisi 2009 ini dengan iktikad yang cukup lain, yaitu agar menjalani hidup yang lebih bahagia. Mereka akan mengadakan talkshow dengan topik "Resolusi Tahun Baru untuk Hidup yang Lebih Bahagia." Acara ini terbuka untuk umum, akan dilaksanakan pada Sabtu, 3 Januari 2009, pukul 14.00 WIB, di toko buku Gramedia Matraman, Jalan Matraman Raya 46-48 Jakarta 13150.

Kaifa menerbitkan buku keempat Arvan Pradiansyah , The 7 Laws of Happiness (423 h.), pada Oktober lalu, dan kini sudah cetak ulang. Dia mengakui sebenarnya ide mengenai isi buku tersebut sudah muncul sejak 2004, namun karena kesibukannya yang begitu padat, membuat naskah buku ini baru selesai ditulis pada pertengahan 2008. Bersama tim dari ILM yang dia pimpin, Arvan malah lebih dulu menyelenggarakan pelatihan "The 7 Laws of Happiness at Work" sejak 2007 untuk karyawan di sejumlah perusahaan.

Alih-alih menganjurkan meraih kesuksesan yang bersifat material, di buku tersebut Arvan mempromosikan agar orang menemukan kebahagiaan yang lebih esensial bagi manusia, meskipun boleh jadi kebahagiaan sangat kualitatif bagi setiap orang. Bagaimana menemukannya? Rahasia itulah yang dia bahas secara cukup komprehensif dalam bukunya. Secara garis besar, ada tujuh rahasia hidup yang bahagia. Tiga unsur pertama berkaitan dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri; tiga unsur kedua berkaitan dengan hubungan antara seseorang dengan orang lain; satunya lagi ialah berkaitan dengan hubungan seseorang dengan Tuhan.

"Orang yang bahagia ialah orang yang dapat berdamai dengan dirinya, orang lain, dan Tuhan," demikian tegas Arvan.

Tentu kita semua bisa mendiskusikan kebahagiaan ini pada pertemuan tersebut. Boleh jadi makna kebahagian menurut Anda lain dengan maksud teman Anda; adakah benang merah di sana? Arvan sendiri, misalnya, dengan hati-hati membedakan kebahagiaan dan kesenangan. Kesenangan sesaat yang biasanya berjangka pendek kerap dianggap sebagai kebahagiaan. Padahal barangkali ia menipu perasaan orang tersebut. Karena itu, kebahagiaan pun harus memiliki prinsip dasar yang kuat.


Mungkin Anda sudah menulis resolusi untuk 2009 ini sejak awal Desember lalu, menempelkannya di samping meja komputer, di dalam notebook, dalam file dengan kode rahasia, atau baru mencanangkannya setelah liburan ke gunung, pulang kampung, bahkan setelah merasa hidup Anda tak keruan. Mungkin juga kita bertanya-tanya kenapa tahun lalu kita merasa hampa dan sia-sia, padahal telah banyak yang Anda lakukan.

Yang jelas, orang kerap butuh momen untuk berubah dan melakukan hal baru, melanjutkan kehidupan, mengisinya dengan beragam aktivitas yang bermanfaat. Momen itu memungkinkan manusia memikirkan segala hal relevan: merencanakan, memprediksi, menangguhkan, mendahulukan; pada saat bersamaan tahu kemungkinan berhasil dan bisa menerima kegagalan. Karena berencana, manusia belajar menentukan prioritas; apa yang penting, mendesak, ditunda, juga malah dihapus. Kalau cukup yakin bahwa dengan berjanji dan melaksanakannya hidup kita bakal lebih baik, berarti, setiap saat, dengan segala perubahannya, ketika itulah resolusi itu harus dilaksanakan sekarang, dengan kemampuan maksimal kita.[]

Konfirmasi undangan: Lina (021) 75910212; Rista (022) 7834310/sms 081320711171.

Oleh Anwar Holid

Copyright ゥ 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Informasi lebih banyak:
http://www.ilm.co.id
http://www.mizan.com

Kontak dengan Mizan dan Arvan Pradiansyah di http://www.facebook.com

Wednesday, December 17, 2008



Sedikit Bantu-bantu Ultimus Pindahan
------------------------------------
--Anwar Holid


Ultimus, toko buku independen yang banyak berkontribusi pada gerakan literasi di Bandung, pindah ke lokasi baru, di jalan Jakarta, persis di depan rumah tahanan Kebon Waru. Pada Minggu itu (14/12) saya ikut sedikit bantu-bantu bareng mereka.


BANDUNG - Meskipun cukup terlambat datang, ternyata saya masih sempat bantu-bantu pindahan toko buku Ultimus dari daerah Lengkong Besar ke jalan Jakarta, Bandung. Waktu datang, saya lihat Bilven, sang manajer toko buku dan penerbitan ini, tengah terlelap kecapean sehabis kerja keras seharian. Di antara para pendirinya, kini hanya Bilven yang benar-benar total menangani semua operasional perusahaan. Hakim, pendiri lain, meski masih rutin ke Ultimus minimal sebulan sekali, saya dengar kini berkarir di perusahaan telekomunikasi seluler. Sang Denai, seorang penulis & editor yang juga kerja di sana bilang bahwa packing sudah dilakukan beberapa hari lalu.

Begitu tiba di sana, telah berkumpul puluhan anak muda lain yang juga sibuk membereskan ini-itu. Mereka sigap bergerak ke sana-sini, mengerahkan tenaga. Kaos mereka basah kuyup. Meski begitu, mereka mengerjakannya dengan santai, tertawa-tawa, dan heureuy. Jelas mereka tampak capek, tapi tetap semangat.

Yang perempuan tengah sibuk menyiapkan makan siang. Mereka menggoreng, memasak, memotong, mengiris-iris bahan makanan. Seorang anak lelaki dengan banyak tato di tubuhnya juga penuh semangat menanak nasi menggunakan rice cooker. Di depan, sekelompok anak muda sibuk menumpuk segala barang ke depan, agar memudahkan disiapkan begitu pick up dan truk pengangkut datang. Waktu saya datang, pick up dan truk itu sudah dua kali bolak-balik mengangkut semua isi toko buku.

Karena masih ngontrak, kepindahan niscaya terjadi pada toko buku yang aktif sejak lima tahun terakhir ini. Dalam empat tahun terakhir ini mereka buka di jalan Lengkong Besar, menempati bangunan yang cukup luas, sehingga berbagai acara dengan leluasa terselenggara di sana, mulai dari diskusi, peluncuran buku, berbagai workshop, pemutaran film, tak lupa konser musik, teater, juga festival penyair.

Ultimus merupakan ruang publik yang cukup penting bagi sebagian anak muda Bandung. Sejumlah komunitas dan subkultur kerap menjadikan Ultimus sebagai ruang pertemuan, antara lain kelompok mahasiswa, penulis, underground, punk rock, dan kelompok alternatif lain. Waktu pindahan ini mencerminkan betul kepedulian mereka pada Ultimus. Mereka dengan semangat bantu-bantu mengangkat, menurunkan, dan membereskan barang yang harus dibawa. Solidaritas mereka patut diacungi jempol. Gotong royong itu sungguh mempercepat dan memudahkan proses perpindahan. Semua orang berpartisipasi, mengambil peran yang bisa mereka sumbangkan. Bahkan kawan mereka yang telah kerja di Jakarta menyempatkan dulu untuk ikut sibuk.

Saya sendiri menganggap Ultimus merupakan salah satu nama besar yang ada di dalam hati. Saya kenal para pegiatnya sejak mereka siap berdiri. Meskipun orang luar, saya cukup intens berinteraksi dengan mereka. Saya bukan saja kerap menerima kebaikan dan keramahan mereka, atau juga menyeruput kopi Aroma di sana, melainkan juga mendapat wawasan, militansi, dan semangat di dunia literasi. Dari toko buku, mereka berkembang jadi penerbit, menyediakan fasilitas internet, dan perpustakaan. Saya mengamati perkembangan mereka, meminta pendapat, berharap bahwa bisnis mereka baik-baik dan terus berkembang. Mereka telah mengalami suka dan duka dalam dinamika kota Bandung.

Sejumlah orang menanggap Ultimus merupakan rumah kesayangan mereka. Salah satunya dirasakan oleh Wida (Widzar Al-Ghifary), penyair yang kerap menggunakan nama Sireum Hideung, "Saya telah menjadikan Ultimus sebagai rumah kedua. Saya tak pernah benar-benar meninggalkan Ultimus. Sejak lima tahun yang lalu, saya diam-diam menitipkan nama saya pada salah satu ruang kosong, mungkin di sela-sela buku, di rak-rak yang agak longgar, atau bahkan sekadar menitipkan gumam yang samar." Kesan serupa dirasakan Desiyanti Wirabrata, "Buatku Ultimus sudah seperti rumah seorang kerabat dekat. Ultimus selalu jadi tempat pulang... Pulang ke kelapangan hati kawan-kawan."

Setelah ujian banyaknya toko buku independen Bandung yang rontok 3-4 tahun lalu, Ultimus merupakan salah satu dari sedikit yang bertahan. Sejauh pengamatan saya, selain Ultimus, toko buku setipe yang masih bertahan dengan baik ialah Rumah Buku, Omuniuum, dan Tobucil--dengan dinamika dan positioning masing-masing. Rumah Buku misalnya, baru-baru ini mendapat julukan "the coolest library in town" dari Rolling Stone Indonesia.

Lokasi baru Ultimus kini lebih kecil. Saya sedikit sangsi bagaimana mereka akan mengadakan berbagai program dan agenda yang sudah dijadwalkan. Alternatifnya ialah harus ekspansi ke tempat lain, seperti dulu waktu pertama kali berdiri. Mereka menggunakan banyak tempat lain yang tersedia di Bandung. Saya sempat tanya pada Bilven, apa yang kali ini Ultimus prioritaskan, toko buku atau penerbitan. "Kayaknya penerbitan, mas," jawabnya. Jumlah terbitan Ultimus tambah banyak, mayoritas puisi dan pemikiran. Merekalah yang menerbitkan Das Kapital jilid I dan II edisi Indonesia. Buku puisi terbitan mereka pernah dua kali berturut-turut jadi nominee KLA.

Saya tahu mengembangkan perusahaan merupakan pekerjaan berat, butuh konsistensi, strategi, pengorbanan, keseriusan, berani mengambil risiko, perlu loyalitas. Saya lihat sendiri, Ultimus telah melahirkan loyalitas yang kuat di antara pengikut dan gerombolannya. Namun gerombolan harus memberi kontribusi signifikan bagi kemajuan komunitas dan toko.

Selamat berbenah dan terus bergerak Ultimus! Hasta la victoria siempre! Keep up the good work![]

Copyright © 2008 oleh Anwar Holid

KONTAK: wartax@yahoo.com | (022) 2037348 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Informasi lebih banyak di:
http://ultimusbandung.info
e-mail: ultimus_bandung@yahoo.com

Kontak: Bilven: 0812 245 6452


Seru, Kocak, Sedih, Menegangkan
----------------------------------------
--Oleh Anwar Holid


Ada yang senang, terhibur, ikut terharu dan sedih, kocak, terbawa tegang, setelah baca Maryamah Karpov; tapi juga ada yang merasa janggal, bertanya-tanya, dan kecewa. Akankah ada spekulasi baru terhadap Laskar Pelangi?

BANDUNG - Ternyata saya tak segesit banyak pembaca lain dalam menamatkan Maryamah Karpov. Memegang novel itu sejak akhir November, sampai sekarang saya baru membuka Mozaik 55 dari total 73. Ada saja halangan saya untuk segera menamatkannya. Entah sudah waktunya harus menyelesaikan makalah, segera menulis kolom, baca artikel, rencana baru, kalah oleh godaan ingin membalas posting teman, berkejaran dengan jadwal dan prioritas lain, atau energi dan waktu tersita oleh urusan keluarga, pribadi, dan teman-teman. Namun sekarang, saya berharap dalam sehari ini benar-benar bisa tuntas memuaskan kepenasaran terhadap petualangan cerita Ikal tersebut.

Ada saja kejadian yang bikin senyum saya mengembang selama pegang-pegang novel setebal 504 halaman itu. Di antaranya, waktu antri di bank, seorang anak SD, bersama ibunya, sampai meneleng-nelengkan wajahnya mengintip apa yang tengah saya baca. Begitu mata kami berpapasan, saya tanya, "Tahu Laskar Pelangi?" Dia mengangguk. "Sudah baca?" Dia tersenyum. "Lihat filmnya juga?" Bibirnya mengembang. Lantas dia menepuk-nepuk tangan ibunya. "Mah, mah, itu lanjutan Laskar Pelangi," katanya. Ibunya lantas ikut memperhatikan buku yang ada di tangan saya. Dia mengangguk tanda memberi salam. "Mau lihat?" saya menyodorkan buku ke anak itu. Dia ragu-ragu menerimanya. "Ini jilid terakhirnya," kata saya. "Kapan terbitnya?" sela si ibu, sambil buru-buru menambahkan, "dia sudah lama menunggu sejak tamat buku ketiganya." "Hebat," puji saya. "Ini baru terbit akhir November tadi. Saya baru setengahnya baca."

Saya tenteng-tenteng novel itu setiap kali pergi, biar siap membacanya kapan saja, termasuk di dalam angkot. Pernah begitu duduk saya siap menarik novel bersampul violinis wanita itu, di ujung sudut angkot telah duduk dengan manis seorang gadis tengah tenggelam menekuri Maryamah Karpov. Daya perkirakan dia masih sampai puluhan halaman, tangan kirinya baru memegang sedikit bagian buku. Dia tak peduli dengan penumpang lain yang tengah ribut membicarakan seorang dosen yang menurut mereka genit karena suka berusaha merayu. Si gadis pembaca Maryamah itu terus terpekur membuka satu per satu halaman perlahan-lahan, saya memperhatikan dia dari kaca spion. Ternyata perjalanan dia jauh, sepanjang waktu itu wajahnya hanya menatap buku, dan tangannya membuka halaman. Sampai akhirnya saya turun duluan. Saya takjub betapa ada buku yang begitu bisa memaku pembaca. Itulah ciri "page-turner"--buku mengasyikkan, dengan plot yang sulit ditinggalkan.

Di lain waktu, dengan kawan seorang penulis dan editor, kami membicarakan berbagai aspek dalam Laskar Pelangi, intrinsik dan ekstrinsik, termasuk berbagai berita yang berseliweran di sekitar Andrea Hirata. Lepas dari berbagai kritik yang mengepung novel itu, dan kritik itu pun saya amini, posisi saya ialah menyelamati keberhasilan karya tersebut, baik dari sisi kekhasan cara bercerita, tema, dan kesuksesan memenangi selera massa. Bila ada ratusan ribu pembaca berbondong-bondong melahap karya itu, tentu ada sesuatu yang bisa diambil dari sana, baik rasa bahagia, sedih, haru, humor, dan setia kawan.

Sambil terus mencicil, saya memperhatikan sejumlah komentar pembaca yang telah menamatkannya. Sebagian merasa puas, terhibur, memuji, bertanya-tanya, dan ada juga yang kecewa---benar-benar kecewa (menggunakan gaya ungkap khas Andrea Hirata.) Bagaimana merespons beragam reaksi pembaca setelah baca Maryamah Karpov karya Andrea Hirata kali ini? Tentu kurang elok bila kita terus-terusan mengedepankan euforia pembaca terhadap suatu karya tanpa mengindahkan respons negatif terhadapnya. Pembaca punya hak terhadap buku yang dia baca, bahkan mereka bisa dengan jujur bebas mengungkapkan komentar itu dengan berbagai cara. Pembaca merupakan massa anonim, mereka bisa berkomentar apa saja terhadap karya yang mereka baca.

Beragam respons ini mengingatkan saya pada Adenita, penulis 9 Matahari, yang karyanya juga dikomentari beragam oleh sejumlah orang. "Beragam apresiasi itu mirip ruang yang punya banyak sudut. Sah-sah saja menilai buku ini dari sudut pandang masing-masing, karena ini memang hak pembaca."

Salah satu reaksi paling menuntut dari pembaca ialah kenapa novel tersebut berjudul "Maryamah Karpov." Pilihan itu mengingatkan saya pada sejumlah judul album atau lagu musisi Barat yang kerap lain sama sekali dengan isi album, bukan pula merupakan petikan lirik dan tak mewadahi isi keseluruhan cerita. Karena pilihan judul itu terasa begitu misterius, sebagian pembaca mengira-ngira kemungkinan akan ada rencana di masa depan terhadap "Maryamah Karpov." Penyair Nirwan Dewanto melakukan hal serupa terhadap buku puisinya, Jantung Lebah Ratu, yang baru-baru ini memenangi KLA 2008 kategori puisi.

Maryamah Karpov memuaskan dahaga pembaca akan kepiawaian Andrea Hirata bercerita, mengembalikan pada cara bercerita yang khas. Mereka terhibur, tertawa, terharu, juga bertanya-tanya. Pembaca senang oleh humor, lelucon, kesetiakawanan, petualangan, juga kehidupan masyarakat Melayu. Pembaca dibuai oleh berbagai peristiwa fantastik, gaya ungkap hiperbolik, juga kisah cinta, optimisme, dan rasa riang menjalani hidup. Di milis pasarbuku@yahoogroups.com, anggota bernama Samuel berkata, "Saya telah selesai baca, seru, kocak, sedih, menegangkan... tapi bagi saya seperti ada satu bagian yang hilang." Sementara Handita menambah, "Saya menangkap pesan yang ingin disampaikan ialah soal keteguhan hati untuk mengejar cita-cita."

Namun pembaca yang kecewa juga terang-terangan melampiaskan perasaannya, seperti Siska. Komentar dia, "Novel ini mungkin karakternya terilhami dari orang-orang nyata. Tapi Maryamah Karpov seperti ditulis cuma untuk melunasi utang. Alur dipaksakan, gaya bercerita masih satire tapi terlalu banyak halaman terbuang buat cerita-cerita yang bukan inti, kaya fragmen terpisah-pisah, dan tak jelas maunya. (Padahal) tiga novel sebelumnya cool, menambah sesuatu."

Saya juga merasakan di bagian awal novel ini Andrea keasyikan meledek perilaku kaumnya sendiri, hingga baru setelah halaman 200-an pembaca digiring pada misi Ikal sesungguhnya. Apa itu lantas membuat 200 halaman pertama sia-sia? Mungkin tidak, hanya kurang padu terhadap subjek utama. Di halaman awal itu saya masih bisa tertawa menikmati kejenakaan kelakuan orang Melayu Dalam, menikmati suasana, kehidupan, dan alam kampung, juga memasuki penggambaran latar (seting) yang sangat hidup.

Di sisi lain saya menemukan bukti keseriusan penerbit dalam menyiapkan buku. Sejauh 342 halaman ini, saya hanya menemukan satu salah eja, pada halaman 327, yaitu atas ejaan nama Lintang yang tak diawali huruf kapital. Kerapian ini boleh jadi mesti ditujukan berkat kecermatan editor, Imam Risdiyanto.

Baiklah, izinkan saya menuntaskan dulu novel ini, agar di kemudian hari bisa berbagi dan berkomentar lebih banyak. Sehari lagi, saudara-saudara, sebagai syarat agar komentar saya cukup valid dan bertanggung jawab.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

KONTAK: wartax@yahoo.com | (022) 2037348 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Informasi lebih banyak di:
http://www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
http://www.mizan.com
http://www.sastrabelitong.multiply.com
http://www.renjanaorganizer.multiply.com
http://www.blueorangeimages.com (foto Andrea Hirata)

Monday, December 15, 2008


KEBAHAGIAAN SEJATI
--Anwar Holid


Authentic Happiness - Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif
Penulis: Martin E.P. Seligman, Ph. D.
Penerjemah: Eva Yulia Nukman
Penerbit: Mizan, 2005
Halaman: 410
ISBN: 979-433-398-0
Harga: Rp36,000.00 (Versi Digital); Rp60,000.00 (Versi Buku)


ORANG menempuh banyak cara agar bahagia. Sebagian orang dengan lagak menyatakan bahwa tujuan hidupnya ialah mengejar kebahagiaan. Mulai dengan menumpuk harta sampai menjadi relawan sebuah organisasi nirlaba. Kita sering mengira bila sedang senang artinya sama dengan sedang bahagia. Memang umum orang menyangka seperti itu. Kesenangan itu saudara kebahagiaan, kalau bukan keponakannya. Tapi benarkah seperti itu?

Inilah yang ditempuh orang dengan cara berbeda-beda. Ada kala bahkan dengan memaksa agar orang jangan melakukan ini-itu yang dianggap berbahaya. Bisakah orang mendapat kebahagiaan lewat paksaan? Apa bisa orang mengaku senang atau bahagia meski asalnya dari memuas-muaskan hawa nafsu sendiri sampai merugikan orang lain?

Ternyata kebahagiaan punya ciri, yang boleh jadi langsung runtuh bila melanggar aturan tertentu. Tapi di sisi lain orang bisa bahagia dengan cara paling sederhana. Dia bisa bahagia karena mampu menyenangkan anaknya, sementara orang lain girang bukan main karena bisa mengalahkan lawan tanding tangguhnya, atau dapat hadiah sesuatu yang sudah sekian lama diidam-idamkan.

"Sudah saatnya muncul sebuah ilmu yang berusaha memahami emosi positif, membangun kekuatan dan kebajikan, serta menyediakan tonggak paduan untuk menemukan hal yang oleh Aristoteles disebut 'kehidupan yang baik," kata Martin Seligman, pendiri Psikologi Positif, sekaligus secara komprehensif menuliskan landasan teori dan praktik cabang psikologi ini dalam buku Authentic Happiness. Psikologi Positif lahir dari kegalauan Seligman ketika jadi presiden American Psychological Association (APA) pada 1998. Dia tak sendirian; beberapa koleganya ternyata merasakan kecenderungan serupa, dan akhirnya saling mendukung dan mengisi gagasan tersebut hingga menjadi disiplin yang padu.


KIRA-KIRA satu dekade sebelum Seligman terpilih jadi presiden APA, organisasi ini pecah. Anggotanya terbagi dua: pertama kubu sains, yang mementingkan sains namun suka menggerutu; kedua kubu praktik, yang lebih suka berpolitik dan lebih mementingkan psikoterapi pribadi namun mengabaikan sains. Sementara media mereka yang terkemuka, Psychology Today, bangkrut. Beruntung masa sulit ini ditangani dengan baik oleh presiden mereka yang brilian, Ray Fowler. Dia berhasil membangun APA menuju kejayaan, termasuk berhasil menggaet anggota jadi 160.000 orang, sangat besar bagi organisasi sains. Agaknya sikap optimisme Seligman tumbuh dari pengaruh Ray. Namun ada yang lebih menggugah Seligman untuk memantapkan aliran ini, yaitu kebiasaan buruknya sebagai penggerutu yang sudah akut, susah diperbaiki dan terkenal di antara orang-orang dekatnya. Suatu hari dia mendapat ilham setelah ngobrol dengan anak bungsunya, Nikki. "Kalau aku bisa berhenti merengek, ayah juga bisa berhenti jadi penggerutu," kata putrinya. Seketika itu dia tertohok. "Saya menginginkan psikologi yang bisa membahas institusi positif biar makin memacu kekuatan dan kebajikan, yang akan memandu kita menempuh jalan lebih baik menuju kehidupan yang baik." Jawabannya ialah Psikologi Positif.

Psikologi ini berusaha menekankan pada kesehatan mental. Aliran ini merupakan generasi baru Psikologi Humanistik yang berhasil membangun dukungan bukti empirik yang solid, menyediakan landasan sainstifik kuat bagi studi tentang kebahagiaan manusia dan fungsi optimal manusia, menambah sisi positif dari psikologi yang terlalu dikuasai sisi negatif manusia. Komentar Jalaluddin Rakhmat: dengan buku ini, kita akan meninggalkan "psikologi bengkel" yang memperbaiki jiwa-jiwa yang rusak menuju "psikologi pandai emas" yang menyepuh logam mulia menjadi lebih cemerlang. Haris Priyatna, seorang editor, menambah: Psikologi Positif mengarahkan perhatian pada sisi positif manusia, mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan kebajikan sehingga membuahkan kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.

SEBENARNYA cara menulis Seligman cukup enak dinikmati, penjelasannya jernih, dan nuansanya membangun; hanya saja banyaknya contoh kasus, praktik tes psikologi, dan poin demi poin berbagai ciri suatu sikap seseorang membuat pembacaan tuntas mudah terganggu. Hal tersebut bukan merupakan kekurangan, melainkan untuk memastikan bahwa pembaca tahu persis dan jujur mengetahui kondisi psikologinya, biar dia tahu yang tengah terjadi dan apa yang sebaiknya dilakukan. Ragam tes psikologi ini amat beragam, sebagaimana kebahagiaan juga bermacam-macam spektrumnya. Ini dilakukan Seligman agar orang jujur betul dengan kondisi dirinya. Seluruh tes tersebut dikembangkan oleh para ahli psikologi dari lab atau lembaga psikologi terkemuka. Secara keseluruhan buku ini dengan baik mampu menjelajahi subjek yang ditawarkan dan bisa membangkitkan semangat orang untuk membangkitkan sikap positif dan kemudian mempertahankannya menjadi karakter pribadi.

Seligman memerikan bahwa kebahagiaan terdiri dari "emosi positif" dan "aktivitas positif." Dia berusaha mencakup faktor kebahagiaan cukup lengkap, mulai dari diri sendiri, lingkungan, keluarga (terutama dalam membesarkan anak), cinta, karir; sekalian membagi ilmu apa artinya optimistik, bahkan bersikap terhadap ketidaknyamanan atas nama demi kebahagiaan, dan seterusnya. Di buku ini dia juga mengenalkan sejumlah istilah teknis psikologi yang bermanfaat karena detilnya lain, antara lain kenikmatan, gratifikasi, flow, joy, dan sebagainya. Semua istilah itu berhasil dipadankan dalam bahasa Indonesia dengan enak. Namun yang paling penting ialah mengajak orang menemukan kebahagiaan yang terbaik bagi dirinya. Hanya orang itu sendiri yang bisa menemukan kebahagiaan autentiknya, terutama menemukan kekuatan khas di setiap diri orang.

Martin Seligman merupakan salah seorang psikolog paling terkemuka dewasa ini. Newsweek menyebut dia sebagai "psikolog abad ke-21 sekaliber Freud." Dan menurut Review of General Psychology, Seligman ada di peringkat ke-13 sebagai psikolog yang paling banyak dikutip di buku ajar pengantar psikologi dalam abad ini. Selain orang senior di APA, dia juga seorang penulis laris sejumlah buku dan seorang juara bridge Amerika Serikat.[]

Pertama kali dipublikasi di http://www.digibookgallery.com

Thursday, December 11, 2008



Bagaimana Menghargai Tulisan Sendiri
---Anwar Holid


Menghargai tulisan sendiri ternyata agak sulit, persis karena baru-baru ini saya membaca pernyataan Ignatius Haryanto di Matabaca: "Mungkinkah meneliti tentang diri sendiri?"

Saya pernah menulis tentang pilihan (ketetapan hati) seseorang yang ingin jadi penulis. Memang mengakui apa jadi penulis itu "takdir" atau "kerja keras" dan latihan disiplin, sulit juga ditentukan. Kriteria saya lebih sederhana dalam menentukan apa sesuatu layak dijalani atau ditinggalkan; misalnya apa orang itu ikhlas atau senang hati atau dia malah mendapat kesulitan (kegagalan) dari pilihan tersebut. Kalau dia ikhlas, jalani---sesulit apa pun konsekuensinya, setidak populer apa pun jalan yang dia pilih. Bila orang rela dan yakin, kemungkinan besar dia bisa senang hati meski sesulit apa pun kondisi faktualnya.

Saya juga sering menyatakan bahwa menulis atau jadi penulis itu sama saja dengan mencangkul atau jadi petani. Jadi penulis itu tidak lebih hebat atau mulia dari jadi direktur atau tukang goreng tahu. Biasa saja. Ini tentu bukan untuk merendahkan, tapi justru ingin menegaskan ada juga jalan lain yang sama mulia dan menarik di dunia ini. Kalau seseorang ditakdirkan jadi tukang becak, tentu itu sama mulianya dengan jadi wartawan. Kalau ada orang yang dapat kesenangan sejati dengan jadi penulis, tentu ada juga tukang sampah yang bahagia dengan pekerjaannya. Jadi kalau ada orang yang dengan jadi penulis malah sengsara atau tertekan dan tidak mendapat kebahagiaan, tentu ada yang salah di sana, dan karena itu harus ditinggalkan atau diperbaiki. Di sini, kita bukan sedang bicara tentang konsekuensi, melainkan lebih pada orang bisa senang dengan pilihannya atau tidak.

Dalam bahasa Inggris ada kata "bliss" yang artinya kira-kira "kebahagiaan sempurna" atau "kenikmatan spiritual." Kalau orang mendapat kenikmatan spiritual atas pilihan yang dia ambil, saya yakin semua akan beres dan persoalan dia dengan dunia dan seluruh isinya "selesai."

Pendapat tersebut membuat saya sulit menjawab pertanyaan mendasar tentang topik ini, ialah bagaimana cara seseorang menghargai tulisan sendiri?

Sebagian orang menulis yang betul-betul ideal, dia inginkan, lepas bahwa tulisan itu bisa dijual atau mendatangkan pendapatan (nafkah) atau tidak. Sebagian orang menulis karena pekerjaannya memang penulis, yaitu kuli tinta (wartawan, jurnalis.) Dia harus menulis walau mungkin subjek tulisan itu di luar yang dia sukai. Jujur, saya sendiri jauh lebih bisa menikmati tulisan yang saya tuangkan di [HALAMAN GANJIL] karena menurut saya itu ditulis dengan kejujuran yang lebih tinggi daripada tulisan yang saya hasilkan (jual) ke media massa. Sering saya terdorong ingin memaki atau menulis sekasar mungkin di [HALAMAN GANJIL], melampiaskan perasaan sedalam mungkin, tapi sejauh ini masih bisa tertahan karena pertimbangan kesopanan dan reputasi atau menimbang konsekuensi buat diri sendiri dan keluarga. Mungkin saya pengecut, tapi di sisi lain saya belajar memahami diri dan menaklukkan perang dalam diri.

Menulis untuk media massa juga menyenangkan karena selain mendatangkan pendapatan, itu melatih menulis dengan standar tertentu yang bisa diterima suatu lembaga. Tapi menulis di media massa seolah-olah melarang orang melampiaskan perasaan sekasar mungkin (jelas!), dan itu membuat saya merasa kurang ekspresif menulis. Penulis harus belajar "memelintir" ungkapan yang bisa mewadahi maksud. Menulis di media massa juga melatih kita disiplin, melakukan riset, mencari kedalaman, menawarkan sesuatu yang memenuhi logika umum kepada pembaca dan orang lain.

Setahu saya, menurut semua penulis, menulis itu 99 % kerja keras dan sisanya bakat. Berdasar pengalaman sendiri, saya juga seperti itu; saya lebih yakin bahwa menulis itu kerja keras yang harus diwujudkan dengan latihan tiada henti, dengan eksplorasi, eksperimen, pengorbanan, dan pemahaman (wawasan), daripada mengandalkan bakat. Kalau kita punya mimpi yang kuat jadi penulis, biasanya selalu ada jalan ke arah sana. Untuk jadi penulis, menurut saya sederhana; orang hanya perlu motif (niat, alasan). Persoalan biasanya baru muncul bila menulis misalnya ternyata gagal dijadikan sandaran hidup atau mata pencaharian, padahal dia merasa itu panggilan jiwanya. Di situ letak penting kesempatan dan kemampuan, termasuk soal disiplin, skala prioritas dan lain-lain yang berhubungan dengan profesionalisme.


Baru-baru ini saya tanya ke Akmal Nasery Basral (wartawan Tempo dan penulis fiksi) tentang cara menyelesaikan proyek dua tulisan dalam sekali waktu. Jawaban dia menurut saya sangat bagus:
---------------------------------------------
ya, godaan seperti itu khas dialami oleh para penulis. karena itu ada sebuah ungkapan yang bilang bahwa writing is a continuing struggle between one self and a blank page. ini sebuah pertempuran yang harus "dimenangkan" oleh sang penulis dari halaman ke halaman, bukan dari ide ke ide.

sebab banyak sekali penulis pemula, atau yang bercita-cita menjadi penulis, mereka punya ide-ide cemerlang, tapi tak cukup punya strategi dan stamina untuk mewujudkannya dalam halaman per halaman, apalagi sampai bertemu dengan halaman terakhir dari idenya itu.

problem kebanyakan penulis sekarang adalah, termasuk saya sendiri, bukan karena tak punya bahan untuk ditulis. melainkan karena terlalu BANYAK yang ingin ditulis, sehingga tidak bisa fokus baik dalam melakukan manajemen waktu apalagi stamina.
---------------------------------------------

Kalau kita merasa tulisan itu jelek, tentu ada kriteria (nilai) kenapa bisa disebut jelek; dan kita tahu ada tulisan yang bagus. Standar saya sekali lagi juga sederhana: kalau sudah puas dengan tulisan itu, menurut saya itu sudah bagus/cukup. Kalau masih ragu, buktikan dengan cek ke teman atau orang yang kita nilai bisa menanggapi dengan pantas. Coba minta tanggapan orang, terlebih-lebih tanggapan orang jujur. Bila menurut dia sudah cukup, menurut saya penulis harus yakin bahwa tulisan itu sudah cukup bagus. Kalau tidak, memang harus mengakui tulisan itu jelek (gagal.)

Bila penulis masih sulit menilai tulisan sendiri, coba minta respons (nilai) ke orang lain, orang dekat, lebih bagus lagi ke kritik. Menurut sejumlah buku motivasi menulis, ada poin menarik yaitu kita harus mau "mengakui tulisan sendiri." Apa pun bentuknya, apa pun hasilnya, apa pun nilainya. Kalau suatu ketika kita sukses menulis dengan baik, akuilah bahwa itu MEMANG tulisan yang baik, meskipun kita sendiri terkejut entah bagaimana caranya pernah punya ide brilian seperti itu; kalau lain kali tulisan kita buruk, kita harus bilang bahwa itu tulisan jelek yang pernah kita hasilkan. Natalie Goldberg bahkan lebih berani: kalau perlu, sesekali menulislah dengan sungguh-sungguh, kemudian buang. Lupakan. Caryn Mirriam-Goldberg dalam Daripada Bete Nulis Aja bahkan bilang begini: pilihlah kalimat terbaik dalam tulisanmu, lantas coretlah. Waaaaah... ini kan mirip konsep "ikhlas" atau melupakan amal kebaikan yang kita lakukan. Jangan pamrih.

Kunci lain ialah semoga kita tetap semangat dan mau terus belajar.

Tampaknya semua penulis yang baik melakukan itu. Penulis pasti belajar pada penulis lain, entah yang lebih senior atau lebih berhasil atau punya keunggulan tertentu. Semua buku menulis mengajarkan hal serupa. Seorang penulis harus belajar sungguh-sungguh tentang menulis, memperbaiki diri, menguasai tata bahasa, meningkatkan pencapaian, dan seterusnya. Itulah profesionalisme dan pengabdian; totalitas. Natalie Goldberg belajar dari Walt Whitman; saya belajar dari banyak orang, dari siapa saja yang memberi pencerahan dan tambahan wawasan. Saya belajar tega menyunting tulisan sendiri dari seorang wartawan. Belajar "analisis isi wacana" dari Farid Gaban dan Ignatius Haryanto. Dari penulis yang lebih disiplin kita belajar cara mendisiplinkan diri untuk menjalani hidup sebagai penulis. Biasanya buku panduan menulis selalu mencontohkan belajar menulis cara penulis lain. Kenapa ini selalu diajarkan? Saya yakin agar kita (penulis yang lebih junior) mau belajar demi mendapat ruh menulis, mengasah ketajaman, sensibilitas, dan seterusnya.

Sebagai penulis, saya juga masih punya banyak sekali kekurangan, kurang produktif dan disiplin, mudah mengeluh dan menyerah, mudah terganggu, kurang teguh. Kemampuan analisis saya juga jelek, sangat sering pilih-pilih, kurang bisa menjelajah topik-topik sulit. Maka setiap tawaran menulis selalu saya jadikan tantangan latihan disiplin diri. Hasilnya kadang-kadang mengecewakan, tapi ada juga yang memuaskan. Menulis Barack Hussein Obama kemarin membuktikan saya kesulitan menjelajahi topik yang pada dasarnya tak saya kuasai, terutama tentang sistem politik dan pemerintahan AS---tapi saya berusaha dan belajar dari seorang sarjana. Saya takut melakukan seperti kata Farid Gaban: jangan sampai kamu menulis sesuatu yang kamu sendiri tak paham. Jangankan pada pembaca (orang lain); HARAM hukumnya penulis menulis sesuatu yang tak dia pahami. Ini tantangan agar penulis betul-betul yakin dengan pekerjaannya; tahu yang dia maksud dalam tulisannya.[]

Anwar Holid, sehari-hari bekerja sebagai penulis, penyunting, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com

TAG

Thursday, December 04, 2008



Pelajaran dari Sekolah dan Kehidupan
------------------------------------
Oleh ANWAR HOLID


Adenita mengeluarkan novel pertama tentang mahasiswi berhati baja yang bertekad menyelesaikan kuliah, meski keluarganya gagal membiayai, dan karena itu dia bekerja keras membiayai hidup dan terpaksa utang ke sana-sini, sampai ketika lulus, mengantongi utang sebesar 70 juta rupiah.


BANDUNG - 9 Matahari karya Adenita (Grasindo, 352 hal.) merupakan debut novel yang sangat mengesankan dan berpotensi membuat hati pembacanya bergetar. Ini sebuah novel pembentukan jiwa (bildungsroman) yang sangat dewasa, berani, menebalkan rasa tabah dan sikap positif.

Novel ini melontarkan saya kembali ke masa-masa kuliah, bertemu dengan mahasiswa beserta aktivitas dan idealismenya, berusaha membentuk identitas, dan belajar dari kehidupan. Novel ini juga memaksa saya mengingat Akademos (Bagus Takwin), novel sejenis tentang kehidupan kampus, namun dengan aspek yang intelektualisme yang berbeda; juga menguatkan saya pada salah satu ucapan Arvan Pradiansyah: kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran.

Saya menamatkannya dengan mata berkali-kali rembes dan hidung meler. Tapi hati saya hangat sekali, dan dalam hati saya terus-menerus berkata: Ini novel yang bagus!

Temui Matari Anas, mahasiswi yang terlalu tua dengan teman-teman seangkatannya, namun punya tekad menakjubkan menjadi sarjana dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, dan orang-orang sekitarnya. Meski keluarganya gagal membiayai kuliah karena terlalu miskin dan secara emosional sedang labil, dia berusaha mandiri, bertahan dengan energi positif yang luar biasa. Keadaan memaksa dia utang ke sana-kemari pada banyak orang, teman-teman, sampai ibu pemilik warung makan di dekat tempat kosnya. Dia belajar pada kehidupan, pada orang-orang yang bisa dijadikan teladan, pertemanan, kesetiaan, dan kasih sayang orang-orang yang mencintainya. Meski pada akhirnya kuliah hingga lulus itu penting, lebih penting lagi ialah integritas, yang ditempa oleh kehidupan dan kedewasaan dalam memandang masalah.

Adenita berhasil menulis novel dengan cukup rapi, dan terutama sekali menggetarkan. Dia menulis dengan alamiah, sederhana, tak neko-neko, dengan kandungan energi positif yang meluap-luap dan emosinya kena banget. Memang masih ada sejumlah salah eja; semoga bisa direvisi bila cetak ulang nanti.



NOVEL ini pantas direkomendasikan pada semua mahasiswa baru, kalangan perguruan tinggi, dan orangtua dengan ekonomi kelas bawah yang punya anak kuliah. Kesulitan dan kepanikan yang dihadapi Matari begitu terasa, termasuk perasaannya menanggung utang dan rasa malu, ketar-ketir menghadapi ujian kuliah dan hidup. Mungkin bagi mahasiswa dan orangtua dari golongan ekonomi kelas mapan, kesulitan itu sulit dibayangkan dan terlalu melankolis; tapi keberanian Matari mengambil risiko dan berhati-hati atas pilihan dan mencoba bersikap, masih mampu membuat orang terkesan oleh karakternya. Bagian yang memperlihatkan kesukaran hidup, misalnya saat Tari kesulitan dapat uang untuk bayaran dan penghidupan, menurut saya mengharukan dan emosinya kena sekali.

Sebagai kritik sosial, novel karya perempuan berusia 27 tahun yang juga aktif di dunia penyiaran dan public speaking ini memperlihatkan betapa pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi kurang serius mengurus pentingnya pendidikan bagi kemajuan kualitas manusia. Banyak perguruan tinggi berdiri, tapi kondisi dan kualitasnya mengenaskan, fasilitas buruk, tapi biaya tetap mahal, sedangkan dosen-dosennya malas karena sibuk cari proyek, ternyata antara citra dan kenyataan perguruan tinggi tersebut berbeda jauh sekali. Atau yang paling parah: jurusan dipandang rendah karena dianggap sebagai lahan cari uang alih-alih laboratorium ilmu pengetahuan. Padahal ada banyak sekali kepentingan bermain di sana, dan persis kata penulisnya: bagi sebagian orang, menjadi mahasiswa merupakan pengalaman yang sangat mewah, tidak semua anak muda mengalaminya. Buku ini mengajarkan orang cara merencanakan pendidikan dengan baik.

Satu-satunya sedikit kelemahan, menurut saya ialah detail pembayaran utang yang kurang tergambar dengan baik. Penulis kurang menggarap cerita bagaimana perasaan orang yang memberi utangan kepada Tari ketika utangnya dilunasi atau dicicil, atau ditunda lebih lama lagi karena memang dia sendiri kehabisan uang. Detail bayar utang ini mestinya penting banget karena Tari memang dililit utang dan itulah sumber masalah terbesar dalam hidupnya.

Utang-piutang ini menimbulkan pertanyaan: masak selama pinjam ke banyak orang itu tidak ada yang terbayar atau bisa dicicil salah satunya. Saya mendapat kesan semua utang itu tak ada yang bisa terbayar. Ini merepotkan. Bagaimana perasaan Matari bila bertemu dengan kawan-kawan yang dia utangi? Malu, menghindar terus? Apalagi kalau ditagih? Saat kuliah, siapa sih di antara kita yang tidak punya utang? Hanya para mahasiswa yang berasal dari golongan keluarga sangat mampu, yang biasanya pasti jadi sumber utangan.


KULIAH merupakan masa-masa meneguhkan identitas. Sebagian orang sukses, sebagian orang lulus, lainnya menjadi demonstran atau berhenti di tengah jalan; sebagian orang lagi gagal, baik karena terpaksa ataupun sukarela karena ada pilihan lain. Di perguruan tinggi, mahasiswa juga menjalani sekolah kehidupan yang menakjubkan dan menggetarkan.

Pelajaran terbesar dari novel ini: pantang menyerah, sebab solusi tersedia bagi mereka yang berusaha. Novel ini mungkin bisa mencegah mahasiswa yang tengah dirundung masalah atau putus asa sampai mau memutuskan keluar akan mengurungkan niatnya. Sebuah Totto Chan versi dewasa, dengan guru Matari Anas sendiri.

Untuk kemampuan menggetarkan pembaca dan menyebarkan pikiran positif, saya berani kasih nilai 9 untuk 9 Matahari![] 04/12/08

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Informasi lebih banyak:
http://mataharikumataharimu.multiply.com
http://www.grasindo.co.id

Cari Adenita di Facebook!

Tag: Jangan biarkan selembar saham pikiran positifmu terjual kepada bandit pikiran negatif itu (hal. 182).

Tuesday, December 02, 2008



Empat Buku Tari Irawati
---Anwar Holid


Salah satu keuntungan langka menjadi editor ialah ia berkesempatan mendapat manfaat dari teks yang disianginya. Ia bisa berjumpa dengan khazanah ilmu yang kadang-kadang awalnya begitu asing dan terasa jauh, sampai akhirnya dekat dan akrab, karena mendapat ilmu itu langsung dari ahlinya. Boleh jadi itulah kesempatan istimewa editor dibandingkan profesi lain: ia berkesempatan menelisik berbagai khazanah ilmu sambil mengurus teks tersebut agar lebih hidup dan mempesona.

Ranah baru yang saya gumuli baru-baru ini ialah tari klasik Sunda, karena saya menyunting naskah biografi seorang tokoh tari Sunda, Irawati Durban Ardjo. Dari mana mengukur bahwa dia benar-benar seorang tokoh? Keseriusan, konsistensi, loyalitas pengabdian, kiprah, sumbangsih, termasuk reputasi, merupakan alasan kuat yang membuat sejumlah orang sepakat menyatakan bahwa beliau memang tokoh tari Sunda. Lebih istimewa lagi, Irawati telah menulis empat buku tentang dasar-dasar gerakan, sejarah, perkembangan, dan bunga rampai jenis tari di Jawa Barat.

Kira-kira pada paro terakhir 2007, seorang teman memberi tahu bahwa Irawati butuh editor untuk naskah biografinya yang ditulis oleh Ahda Imran dan Miftahul Malik---waktu itu penulisannya belum selesai. Teman saya ingin juga jadi editor naskah itu, tapi kesibukan dan jarak membuat dia menawari agar saya mengambil peluang tersebut. Melamarlah saya, dan akhirnya diterima. Sejak itu perlahan-lahan saya mengetahui reputasi beliau, bukan hanya sebagai penari, melainkan juga pegiat tari Sunda yang lengkap. Di kalangan pecinta seni, Irawati terkemuka lantaran menjadi penari Istana Negara sejak 1959 (zaman Presiden Soekarno) hingga terakhir tampil pada 2006 saat Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, Jr. berkunjung ke Indonesia, dijamu di Istana Bogor, meski kehadirannya ditentang besar-besaran oleh sebagian kalangan.

Ketika kelas 1 SD, suatu hari Ira memperhatikan kakaknya yang diajari menari oleh kakak ipar untuk persiapan pesta kenaikan kelas. Setelah sebentar memperhatikan, segera ia mampu menirukan gerakan mereka. Bakat tari itu diasah dan ditumbuhkan di BKI (Badan Kesenian Indonesia). Meski mula-mula dilarang ibunya karena waktu itu citra perempuan penari Sunda ialah ronggeng penghibur para menak, kemampuan dan kegigihan Ira mendapat perhatian dan dukungan yang begitu besar dari dua guru utamanya, yaitu Tb. Oemay Martakusuma, Rd. Tjetje Somantri.

Disiplin BKI mengantarkannya berkali-kali menjadi duta kesenian Indonesia sejak remaja, memperkenalkan tari dan kesenian Indonesia. Sejak itu Ira tahu bahwa dirinya menyatu dengan tari Sunda, meski dia pun banyak menguasai tari jenis lain. Kenyataannya, biar memiliki sejumlah kemampuan dan ketertarikan, misalnya sebagai desainer interior dan melukis---ia sarjana dari Jurusan Seni Rupa ITB---Ira kembali lagi dan lagi ke tari Sunda, seni yang sejak kecil membesarkannya, memungkinkan ia meraih banyak pengalaman berharga. Seiring kedewasaan, Ira pun terlibat dalam segala urusan tari. Selain menari, dia menjadi pelatih, memproduksi, mendirikan sanggar, merancang kostum, sampai mencari sponsor pertunjukan.

Sebagai ahli tari, ia meneliti dan mendokumentasi khazanah literaturnya yang langka. Muaranya ialah ketika ia menjadi pengajar di KORI, hingga lembaga ini kini menjadi STSI, sampai pensiun.


Menulis buku tari Sunda awalnya pun demi pengabdian dan keperluan pengajaran. Selama menyusun dan mengumpulkan data, betapa nelangsa ia mendapati fakta bahwa dokumentasi tentang riwayat guru-gurunya, BKI dan Rinenggasari (lembaga yang paling awal membentuk etos dirinya sebagai penari), dan yang paling vital catatan koreografi, tak tersisa satu pun di bekas sekretariat. Semua arsip lenyap. Terpaksa Ira menuliskan lagi, melacaknya baik dari ingatannya dan para senior. Yang paling sulit ialah mencatat lagi tari kurang populer yang jarang dipentaskan. Ingatan dan penafsiran Ira memainkan peran penting untuk merekonstruksi kembali.

Tangan Ira tak hanya meliuk di antara selendang dan bergerak sesuai musik. Tangan itu pun cekatan menghasilkan buku. Telah empat buku ia lahirkan, yaitu Tari Sunda 1880-1990, Melacak Jejak Tb. Oemay Martakusuma dan Rd. Tjetje Somantri (1998, rev. 2007); Buku Kawit, Teknik Gerak dan Tari Dasar Sunda, dilengkapi VCD dan kaset tari (2004); Tari Sunda 1940-1965, Rd. Tjetje Somantri dan Kiprah BKI (2008); dan Album Semarak Tari di Tatar Sunda (2008).

Buku terakhirnya, berisi khazanah tari Jawa Barat, penuh ilustrasi dan warna, dirancang kronologik dari awal abad ke-20 hingga tahun 2000-an. Ira sedang mengupayakan buku itu terbit sesuai gagasan dan visinya. Karena berwarna dan penuh detail desain grafis, ongkos produksinya jelas mahal. "Saya sedang mencari sponsor untuk buku ini. Kalau tidak ya diterbitkan sendiri," tegasnya. Sebuah penerbit besar pernah ia dekati, tapi gagal, karena menurut Ira opsinya terlalu berat, yaitu ia harus menanggung biaya percetakan, sedangkan penerbit mengurus distribusi.

Untuk mensyukuri kiprah lebih dari lima dasawarsa berkiprah di dunia tari, pada Desember 2008 ini Irawati sedang menyiapkan acara "Lima Dasawarsa Irawati Menari." Kalau bisa sekalian dengan peluncuran buku-bukunya. Sementara itu pengabdian pada tari terus ia lanjutkan; Irawati keliling ke sejumlah kabupaten di Jawa Barat untuk mengajari guru-guru kesenian SD hingga SMU menari tari Sunda sebaik mungkin.[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai penulis, editor, dan publisis freelance. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | (022) 2037348 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Pertama kali dipublikasi REPUBLIKA/Selisik, Minggu, 16 November 2008.
Situs terkait:
http://www.republika.co.id



Maryamah Karpov, Pamungkas Tetralogi Laskar Pelangi
--------------------------------------------------
--Oleh Anwar Holid


Bentang Pustaka meluncurkan Maryamah Karpov, buku terakhir dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dalam suasana amat meriah.

JAKARTA - "Andrea Hirata memang fenomenal ya?" kata Aendra H. Medita keras-keras di dekat telinga saya, berusaha mengalahkan riuh suara ratusan orang yang memadati halaman dalam MP Bookpoint. "Kok kamu ada di sini?" tanya saya. "Memang nggak boleh?" tawa dia. Rupanya dia juga akan bertemu dengan Iman Soleh, aktor monolog yang malam itu didaulat membawakan puisi legendaris "Jante Arkidam" secara dramatik dan menukil mozaik dari novel terbaru Andrea Hirata.

Tadi siang saya melihat novel itu sedang dipasang besar-besaran di satu ruang MP Bookpoint. "Baru datang tadi pagi mas," ujar seorang karyawan sambil beres-beres. Ruang itu langsung penuh hanya oleh Maryamah Karpov ditambah tiga novel Andrea yang lain. Buku lain disingkirkan. Hari itu, Jumat, 28/11/08, adalah hari tetralogi Laskar Pelangi.

Meski hari pertama perjualan Maryamah Karpov belum resmi dilakukan, saya dengar dari Gangsar Sukrisno, CEO Bentang Pustaka, bahwa di toko buku Gramedia Citraland, novel itu dalam dua jam sudah terjual lebih dari 500 kopi. Di MP Bookpoint banyak pengunjung tak tahan menunggu lebih lama lagi untuk membeli. Sebagian orang telah membeli via toko buku online. Bentang menyediakan 100 ribu kopi untuk cetakan pertama, boleh jadi itu merupakan rekor untuk cetakan pertama di Indonesia.

Saya bertemu dengan Andrea Hirata di kantor Bentang, hanya beberapa rumah dari MP Bookpoint. Dia sudah tiba di Jakarta sehari sebelumnya, sekalian nonton konser jazz dengan keponakan-keponakannya, ditemani EO dan kuasa hukumnya. Saya baru saja menerima satu kopi novel itu dari Gangsar, dengan ucapan, "Kamu harus resensi buku ini ya." Di meja itu sudah menumpuk lebih dari 100 kopi Maryamah Karpov untuk ditandatangani. Itu buku pesanan. Tangan Andrea terus sibuk menulis nama satu per satu.

Beberapa saat kemudian wartawan Koran Tempo mewawancarai. Wawancara ini cukup intens karena belum ada media lain yang datang. Andrea menyatakan tekad untuk sementara berhenti dari dunia perbukuan. "Untuk sementara, tetralogi ini cukup," katanya. Dia ingin menyepi dan merenungi lagi perjalanan karirnya sebagai penulis, pertemuan mengesankan dengan John Berendt, keinginan menggali lebih serius genre yang disebut pihak Bentang sebagai "cultural literary nonfiction." Juga upaya menghasilkan buku sekelas karya Truman Capote atau Amin Maalouf.


"Dalam batas tertentu, menulis butuh perenungan. Saya punya kapasitas nggak sih? Saya mau menulis dengan benar. Apabila nggak mutu, jangan menulis," ucapnya tegas. Sang wartawan berkali-kali berusaha meyakinkan apa benar Andrea mau mundur dari dunia yang telah memberikan hal mengejutkan pada dirinya.

Tetralogi Laskar Pelangi adalah hip. Anak berusia 7 tahun hingga orang berumur 70 tahun membaca novel-novel itu. Ada anak SD yang terobsesi ingin bertemu dengan Andrea setelah membaca ketiga novelnya kala terbaring sakit. Maryamah Karpov, buku ke-4 seri itu, sudah ditunggu sejak dua tahun lalu, baru resmi diumumkan penerbitannya pada September lalu, ketika Mizan mengadakan ulang tahun ke-25, persis menjelang premiere film Laskar Pelangi. Andrea sendiri terus-terus menjadi pemberitaan, termasuk muncul kontroversi pernikahannya pada awal November ini.

Andrea mengaku berdarah-darah menyelesaikan novel ke-4 ini. Meski bila digabung waktu penulisannya hanya sekitar satu bulan, jeda di antaranya cukup lama. "Dalam beberapa hal, intensitas penulisan Maryamah Karpov mirip Laskar Pelangi," kata dia. "Saya juga ingin novel ini mendapat tanggapan seperti pembaca menanggapi Laskar Pelangi. Saya seperti menulis Laskar Pelangi jilid dua."

Malam itu Andrea mendapatkan yang diharapkannya. Ratusan orang hadir di MP Bookpoint sampai membuat tempat itu sesak buat bergerak sedikitpun. Mereka menunggu sejak sore, berjubel di setiap pojok. Mereka riang menyambut ajakan menyanyi "Bunga Seroja" dan "Englishman in New York". Mereka terkesima oleh penampilan Iman Soleh yang lucu, teatrikal dan menggelegar.

Mereka terus bersorak-sorai sampai akhirnya Andrea Hirata datang dalam kawalan polisi. Apalagi Giring Nidji dan sejumlah pendukung film Laskar Pelangi ternyata mau beramai-ramai menyanyikan theme song itu. Massa, terutama wartawan, tambah heboh begitu ada pernyataan pers tentang status perkawinannya. Sebagian bertanya dengan teriakan. Untung dia segera diselamatkan oleh acara tanda tangan, yang berlangsung sangat padat. Baru kira-kira pukul 10 malam acara itu selesai. Saya melihat display Maryamah Karpov sudah lenyap di ruangan MP Bookpoint, hanya tersisa yang ada di dinding-dinding kacanya.

Putut Widjanarko, VP Operations Mizan Publika yang saya tahu rakus membaca, sulit menyembuyikan pujian pada Maryamah Karpov. Dia telah melahap buku itu sejak awal produksi. "Cara berceritanya luar biasa," kata dia penuh penekanan. "Detail-detail suasana desanya mengingatkan saya pada novel Ahmad Tohari."

"Kamu pernah melihat peluncuran buku seperti ini?" tanya Gangsar pada saya ketika hendak pulang. Saya tersenyum, membatin, "Setiap penulis punya hari keberuntungannya." Ini launching paling heboh yang pernah saya saksikan.

Segera setelah ini akan muncul berbagai komentar atas novel 504 halaman itu, baik di media massa atau Internet. Ribuan pembaca, terutama book blogger dan pecandu buku, akan menuliskan kesan masing-masing, termasuk kritik, bahkan dari kalangan yang mengaku sulit menyelesaikan oleh Laskar Pelangi. Tapi bagi Andrea Hirata, tugas sudah dituntaskan. Jilid terakhir sudah dipersembahkan. Kini tinggal dia melaksanakan rencana-rencana selanjutnya, termasuk menghilang sementara.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Informasi lebih banyak di:
http://www.mizan.com
http://www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
http://www.sastrabelitong.multiply.com
http://www.renjanaorganizer.multiply.com
http://www.blueorangeimages.com (foto Andrea Hirata)