Thursday, May 26, 2011


Ada lima keyakinan yang membuat kamu tidak bahagia:
 1/ kamu lebih memusatkan perhatian pada sesuatu yang tidak kamu miliki, bukan pada apa yang kamu miliki

2/ kamu percaya bahwa kebahagiaan ada di masa depan. kamu membuat "daftar tunggu" terlalu banyak untuk bahagia

3/ kamu selalu membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain

4/ kamu percaya bahwa kebahagiaan baru datang kalau berhasil mengubah situasi dan orang-orang di sekitarmu. padahal yang perlu kamu ubah adalah diri sendiri, hati, dan cara pandang kamu

5/ kamu yakin baru akan bahagia kalau semua keinginanmu terpenuhi
---sedikit mengubah dari tulisan arvan pradiansyah

Foto dari http://www.flickr.com/photos/eole/2651276638/

Monday, May 23, 2011


Eugenio dan Veríssimo
---Anwar Holid

SAYA bertemu dengan dia di Jalan Dewi Sartika, di antara lapak penjual buku dan majalah loak. Waktu itu saya sedang istirahat kantor dan ingin jalan-jalan agak lama karena penat. Memang kadang-kadang pertemuan memang terjadi karena kebetulan. Dia ada di antara buku-buku yang kebanyakan sudah lecek dan sampulnya sudah terlipat-lipat. Awalnya dia juga diam saja waktu saya sedang memilih-milih buku. Tapi akhirnya kami berkenalan.

Namanya Eugenio Fontes, panggilannya Genoca. Dia protagonis dalam Ketika Hati Harus Memilih (GPU, 1990) karya Érico Veríssimo, terjemahan Masri Maris. Batin saya waktu itu: siapa yang tahu dia? Harus diakui pada tahun 2000-an penulis Brasil yang paling terkenal adalah Paulo Coelho, dan di Indonesia hak terjemahannya paling banyak dipegang Gramedia. Kini saya tahu ada nama lain sebelum Coelho, dan karyanya jauh lebih awal diperkenalkan.

Untung ada Merriam-Webster's Encyclopedia of Literature yang dulu pernah saya ceritakan. Betul dia salah satu penulis paling penting dalam khazanah sastra Brasil. Informasi tentang dia bisa juga ditelusuri lewat Internet. Di sana ketahuan bahwa buku-buku dia sudah termasuk golongan 'antiquarian' dan harus pesan dulu bila ingin beli.

ÉRICO Lopes Veríssimo lahir di Rio Grande do Sul, pada 17 Desember 1905, meninggal di Porto Alegre pada 28 November 1975. Sebelum bekerja di penerbit Editora Globo dia sempat bekerja di sebuah apotek. Di penerbit itu mula-mula dia menerjemahkan serta menerbitkan karya penulis antara lain Aldous Huxley. Ketika berusia 28 tahun dia menulis novel pertamanya, Clarissa, yang ternyata diterima dengan baik oleh pembaca, kemudian diikuti rangkaian novel laris Caminhos Cruzados (1935), Olhai os Lírios do Campo (1938), O Resto É Silêncio (1943). Olhai os Lírios do Campo adalah judul asli Ketika Hati Harus Memilih, yang diterjemahkan Jean Karnoff sebagai Consider the Lilies of the Field (Macmillan, 1947) dan pada 28 November 1969 diterbitkan ulang Greenwood Publishing Group. Siapa sangka pada tanggal itu, enam tahun kemudian dia wafat?



Veríssimo juga seorang ahli sejarah sastra dan kritik; mampu dengan baik pula menulis dalam bahasa Inggris, berjasa mengenalkan sastra Brasil ke seluruh dunia, termasuk tentang kondisi sosial dan warisan budayanya. Karena fasih berbahasa Inggris, pada Perang Dunia II dia pergi ke Amerika Serikat, mengajar sebentar di University of California (UCLA) di Berkeley; hasilnya dia menerbitkan History of Brazilian Literature: an Outline (1945). Dalam karirnya dia menjadi direktur Departemen Urusan Budaya Uni Pan-Amerika (1953-56).

Dia penulis subur. Selain lima buku itu dia menerbitkan sejumlah novel lain, cerita pendek, buku kanak-kanak, juga esai perjalanan, belum termasuk trilogi yang merupakan adikaryanya, O Tempo e o Vento (1949-62), terdiri dari O Continente, O Retrato, dan O Arquipélago.

SUNGGUH kejutan menyenangkan saya menemukan buku bagus tanpa pernah memikirkannya. Ceritanya tentang anak pintar yang lahir dari keluarga miskin. Ayahnya seorang penjahit, tapi dia bahkan tidak bisa menyediakan celana layak buat anaknya. Sementara ibunya bekerja sebagai pencuci di sebuah akademi. Rumah mereka menurutnya mirip kandang babi.

Yang sebenarnya lebih mengesankan karena ada Eugenio itu. Sebenarnya dia mirip bocah lelaki Brasil lain, suka main bola. Tapi sayang, karena miskin dia hanya bisa menendang bola dari buntalan kain rombeng. Dia pernah berdoa agar Tuhan memberi dia bola plastik saja; tapi tak dikabul, akibatnya waktu mahasiswa dia tidak ingin percaya pada Tuhan. Kata dia, 'Andaikata Tuhan ada, maka berarti Dia telah melupakan dunia, seperti seorang sastrawan yang sengaja melupakan buku karangannya yang membuatnya malu.' Tapi kadang-kadang keyakinan itu goyah, karena sebenarnya dia halus budi.

Kelambanan main bola dan keminderan karena miskin dia bayar dengan kepintaran dan pengetahuan. Dia beralih pada buku dan pelajaran, sampai dia pintar dan masuk fakultas kedokteran, awalnya lebih didorong karena dia ingin menolong orang yang sakit-sakitan, seperti ayah dan ibunya. Sayang harapan itu kandas, sebab ayahnya meninggal sebelum dia diwisuda.

Begitu miskin, hingga waktu SD celananya bolong-bolong di pantat dan dia dicemooh oleh seluruh teman sekelasnya. Kemiskinan yang traumatik mengikis habis mental dan percaya diri, sampai tak sadar psikisnya sakit, membuatnya mudah sekali curiga bahkan kepada orang baik. Apa mereka baik karena kasihan, karena dia miskin, seakan-akan berderajat lebih rendah dan hadir menjadi hamba demi mengaminikan ucapan tuan. Dia merasa tak patut dikasihani. Kemiskinan memenjarakan pikiran dan mentalnya.

Mengira kebahagiaan ada dalam harta dan status sosial, membuat dia rela 'menjual' diri menikahi Eunice Cintra, putri tunggal seorang pemilik perusahaan raksasa, mengkhianati cintanya pada Olivia Miranda, teman kuliahnya yang bukan saja mencintainya pula, melainkan ikhlas. Tanpa pernah dia sangka, kencannya dulu dengan Olivia menghasilkan seorang anak, yang baru dia tahu menjelang Olivia meninggal dunia.

Saking miskin dan malu, pernah waktu kumpul bareng teman-teman kuliahnya, dan tampak ayahnya di seberang jalan membawa jahitan, dia merasa hina bila ayahnya sampai berpapasan dan menyapa di tengah kawan-kawannya, khawatir atas pandangan hina mereka. Peristiwa itu membuatnya merasa sangat bersalah; kenapa aku harus malu, padahal dia adalah ayahku, orang jujur, sangat baik, yang banting tulang menyekolahkan aku, sesal dia. Akhirnya Eugenio mengejar, tapi dia sudah menghilang di balik gang.

Menyaksikan Eugenio saya harus bilang anak bisa begitu mudah kecewa dengan kenyataan orangtuanya. Padahal orangtuanya baik, mengupayakan yang terbaik, merawat, tidak menganiaya, meninggalkan, atau menelantarkan mereka. Tapi anak kadang-kadang memang naif dan sembrono.

MENAMATKAN buku ini memang sangat sentimental dan membuat tersayat, tapi saya puas dengan keindahan bahasa dan kemampuan tulisan Veríssimo.

Yang saya sesali, ternyata tujuh halaman buku ini kosong. Untuk ini saya tak bisa apa-apa. Buku lama, beli bekas, dan waktu beli tak diperiksa. Tak ada celah untuk mengeluh. Kata teman sekantor, 'Wah, ini buku cacat ya?' Memang, barangkali. Tapi mau apa lagi? Saya harus mau menerima hal ini sebagai biasa. Saya tak akan rewel hanya untuk hal ini.[]

Anwar Holid, editor dan penulis.
Esai ini awalnya dimuat di Republika, Minggu, 11 Desember 2005.
Gambaran paling klise tentang Malaikat Maut

Kehidupan, Kematian, dan Kekhawatiran
---Anwar Holid

Kenanganku soal kematian amat buruk. Padahal ia terjadi di sampingku. Waktu aku kelas 3 dan kakakku kelas 6 SD, kami sakit muntaber (diare), sampai merenggut nyawa kakakku. Kenangan paling jernih dari peristiwa ini ialah aku sebentar-sebentar minum oralit (yang rasanya sangat aneh) atau air kelapa, tapi itu pun gagal mencegah kami dari sebentar-sebentar terbirit-birit ke kakus, dan sebelum sampai ke sana aku atau kakakku sudah keburu jongkok di lantai dan pantatku basah oleh kotoran.

Meski sama-sama kritis, aku enggak tahu bagaimana kakakku meninggal. Apa aku juga sekarat atau kejang-kejang, hanya orangtua kami yang tahu, tapi tentang itu pun ayah atau ibuku tidak pernah cerita. Yang jelas ialah aku hidup dan kakakku meninggal. Mendadak rumah kami penuh orang, ibuku menangis, dan beberapa orang menyiapkan patok. Patok itu rupanya tanda nisan kuburan kakakku. Ketika ayahku untuk pertama kali mengajak aku ziarah ke kuburan kakakku, yang terlintas dalam pikiranku ialah: oh, kuburannya kecil sekali. Ayahku sengaja membiarkan kuburan itu apa adanya. Setiap kali ziarah, dia hanya mencabuti rumput yang tumbuh di gundukan tanah itu. Lama-lama kuburan itu rata dengan tanah, dan nisan kayunya pun hancur. Sejak itu setiap kali aku ingin mengajak ziarah, ayah menolak, karena letak kuburannya pun sudah hilang. Agaknya dia sudah melupakan kematian anak sulungya dengan sempurna.

Aku melewatkan pemakaman kakek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah. Aku kehilangan alasan kenapa bisa melewatkan prosesi kematian orang-orang dekat dengan diriku. Apa aku terlalu abai atau sibuk hingga tak menyempatkan diri melawat orang di hari terakhirnya? Entahlah. Begitu juga ketika adik iparku meninggal, dan ketika baru-baru ini satu-dua kawan baik lama mendahuluiku berangkat ke alam baka. Memang waktu dan jarak telah memisahkan kami; tapi kabar kematiannya yang aku dengar dari kawan baik lain tak membuatku berjanji untuk melayat ke rumah duka. Aku kuatir lama-lama kehilangan rasa kasih sayang.

Kematian membuat aku bingung. Jelas ini karena aku buta pada kematian, dan aku juga enggak akrab-akrab banget dengan dirinya. Kematian hanya sekali terjadi, namun setiap kali terjadi, dia menghenyakkan. Dia membuat jeda sebentar dengan kehidupan.

Dari dulu aku punya keinginan romantik terhadap kematian: aku ingin mati muda, mati dalam keadaan sehat, dan makamku tak usah dikasih nisan. Aku malas membayangkan bila ada orang kerepotan mengurus aku bila berlama-lama menghadapi kematian dalam kondisi payah atau tanpa daya. Aku ingin makamku segera rata, ditumbuhi tanaman, dan tubuhku lengket melebur bersama tanah. Aku cukup berharap dapat doa keselamatan. Aku enggak tahu apa keinginan sejenis itu normal atau muluk.

Tapi, dengan umur sekarang sudah 37, aku jelas bakal mati tua. Dengan umur segitu, apalagi punya anak, tak akan ada orang yang bilang bahwa aku masih muda. Mati muda itu kalau orang belum berumur 27, apalagi kalau dia masih bujangan. Beberapa temanku mati muda. Waktu kemarin reuni dengan teman SMA, salah satu yang membuat aku sangat terharu ialah ada sekitar lima orang sebaya kami yang telah berangkat duluan ke alam baka dengan berbagai alasan.

Per hari ini aku merasa sehat. Tapi karena aku tahu kematian terus memburu, ia bisa datang kapan saja. Kematian tidak ada hubungannya dengan kesehatan atau kebiasaan baik memelihara kehidupan. Ada banyak orang dengan gaya hidup sehat mati setelah berolahraga atau minum suplemen demi stamina. Ada orang yang minum alkohol tiap hari, pecandu rokok dan narkoba, main cewek gonta-ganti, sampai tua hidup baik-baik saja dan jaya. Tapi itu juga jangan sampai membuat kamu berpikir kelakuan begitu patut dicontoh dan tanpa risiko. Itu hanya membuktikan kematian tak ada hubungannya dengan cara hidup.  Kalau kamu jemput paksa jadi dosa. Dia hanya datang tepat waktu yang mungkin tak disangka-sangka. Jadi siap-siap saja. Malaikat maut hanya perlu mendapat perintah Tuhan kapan harus mencabut nyawa, dan begitu datang, orang itu mustahil bilang, "Tunggu dulu, aku belum siap." Dia menolak meladeni permintaanmu seolah-olah bilang, "Tidak bisa." Dan... krasss. Nyawa kamu putus. Lepas dari tubuh. Dibawa ke alam kubur.

Selama menanti kematian yang enggak jelas jadwal kedatangannya, kita bisa berusaha mengisi kehidupan dengan kegiatan bermanfaat. Namun, di sela-sela energi positif, semangat, kebahagiaan, dan kebaikan, kehidupan ternyata juga bisa membuat kita kuatir, sengsara, dan sulit. Sebagian orang pernah menilai aku dalam keadaan putus asa, tertekan, depresif, atau bahkan malas sama sekali.

Masa depan bisa membuat kita kuatir. Di sela-sela rasa syukur dan puas, kadang-kadang masih saja timbul penyesalan atas utang yang belum terbayar, asuransi yang belum terjangkau, benda yang belum dimiliki, biaya yang masih membebani, penghasilan yang masih kurang. Apa dong arti rasa syukur? batinku. Aku berusaha senantiasa bersyukur, tapi itu masih gagal membuatku mengakui kekurangan faktual atas banyak hal. Berbagai pertanyaan tentang hidup kadang-kadang hanya berakhir jadi gumpalan kegelisahan yang membuat pikiran dan hati jadi kacau. Coba-coba menjawab sering membuat aku tambah sinis dan skeptis.

Bergumul dengan hidup butuh stamina dan kewarasan tinggi. Sebagian orang malah berani mengambil risiko tinggi dengan harapan mendapat kehidupan lebih baik secara gila-gilaan. Mungkin itu yang membuat hidup jadi sangat berharga, tiada tara ternilai, dan jauh lebih menarik daripada kematian. Demi hidup, orang mau terpaksa menghabiskan harta untuk transplantasi organ tubuh, ikut asuransi jiwa atau kesehatan untuk mengantisipasi keadaan, atau menukar kekayaan demi mendapatkan kembali kehidupan atau kesehatan agar pulih normal. Apa ini tanda di bawah sadar kita enggan menghadapi maut karena terlalu misterius dan menakutkan untuk mengetahui sosoknya?

Anehnya, secara alamiah hidup juga menciptakan persoalan, ujian, bahkan tantangannya bisa luar biasa pelik. Semua itu kerap membuat manusia lapuk dan tanpa daya. Dan hanya manusia hebat yang mampu berkompromi atau mengatasinya dengan baik. Bila sudah begitu, dia lulus ujian, dan silakan mati, bagaimanapun caranya. Sebagian orang hebat mati ditebas lehernya, disalib, dan mati mengenaskan dengan berbagai sebab lain, tapi itu tidak mengurangi kualitas hidup yang mereka jalani. Bila sudah selesai urusan di dunia, kematian hanya tahap berikutnya dalam kehidupan manusia. Perhatikanlah: ternyata urusan manusia belum selesai waktu mati, padahal secara fisik kita tak bisa melakukan apa pun. Hidup ada lanjutannya. Bagaimana memahami hal itu? Kita hanya perlu jadi orang beriman; sebab bagi orang ateis, pernyataan tadi nonsens dan terdengar bohong.

Satu lagi harapanku tentang kematian: aku ingin hidupku berakhir baik. Aku berharap itu bukan cuma spekulasi, melainkan menjadi kekuatan dan kunci untuk menjalani kehidupan sekaligus menghadapi kematian.[]

Anwar Holid, hidup sejak 1973. Masih bekerja sebagai editor dan penulis.

LINK TERKAIT:
Yang Lebih Diri, oleh Heru Hikayat
http://en.wikipedia.org/wiki/Death

Thursday, May 19, 2011

[Resensi Buku]

Jeli, Elitis, Membius
---Anwar Holid

___________________________________________________
DETIL BUKU
 
Like This, Kumpulan Tulisan Pilihan 2009-2010 jakartabeat.net
Penyunting: Yus Ariyanto
Penerbit: Multimedia Jakartabeat.net, 2011
Tebal: 438 hal.
ISBN: 978-602-9149-02-09


Apa yang bisa dilihat dari sebuah buku berwajah dua berisi subjek yang sangat beragam? Pertama-tama ialah bagaimana para penulis (kontributor) mengutarakan isi subjek tersebut. Kedua, seberapa penting atau menarik subjek tersebut sehingga pantas diangkat. Dua alasan itu tampaknya cukup untuk segera membuat pembaca mengamini untuk menyukai buku ini.

Wajah pertama buku setebal 438 halaman ini ialah soal musik, sementara wajah keduanya berisi soal berbagai aspek humaniora. Jelas kedua wajah ini mustahil bisa bersua bila tidak ada jembatan yang mampu menghubungkannya, baik itu kepentingan ekonomi, sosial-politik, maupun hasrat libido. Meski sepertinya sisi musik dan humaniora itu tampak cerai alias enggak nyambung dan dipaksa kawin dalam satu ikatan buku, ada satu hal yang mampu menyatukan mereka, yaitu keunggulan para penulis mengungkapkan gagasannya dengan kemampuan bertutur yang hebat, ditambah kejelian memilih detil yang boleh dibilang mengagumkan.

Ambil contoh detil soal sejarah dan nasionalisme dari pengamatan Dandhy Dwi Laksono. Dia bilang, jargon nasionalisme itu omong kosong. Buktinya: para mantan presiden Indonesia ternyata pada menolak melaksanakan upacara 17 Agustus di Istana Negara setelah mereka turun jabatan, entah karena dipaksa atau kalah dalam pemilihan umum. Lihat saja misalnya B.J. Habibie: sejak dipecat MPR pada 1999, di memilih tinggal di Eropa alih-alih menghadiri upacara 17 Agustus di Istana Negara yang pernah jadi kantornya. Soeharto, Gus Dur, dan Megawati berperilaku serupa. Mari kita lihat apa nanti Susilo Bambang Yudhoyono bertabiat sama dengan mereka bila sudah berhenti jadi presiden. Kalau begitu pantas saja siswa-siswa sekolah juga sebenarnya malas banget kalau disuruh jadi petugas upacara. Contoh detil dari satu subjek itu saja sudah cukup untuk membius pembaca agar ketagihan terus menuntaskan bab demi bab isi buku ini, bahkan secara acak sekalipun.

Dari kejelian itu tampak bahwa para kontributor memang menulis dengan gairah (passion) yang amat tinggi terhadap pilihan subjeknya. Inilah yang agaknya membuat jakartabeat.net bisa menjadi pelabuhan yang riuh tempat penulis melemparkan ide-idenya dan segera menjadi bandar kolektif yang ramai.

Ciri menonjol lain yang muncul dari buku ini ialah membentuk wajah jakartabeat.net yang elitis. Istilah elitis ini bisa jadi dilematik, seperti seolah-olah menolak atau meledek orang kebanyakan yang punya selera pasaran (mainstream) sekaligus menyodorkan dan memperlihatkan pilihan tertentu yang dianggap sedikit lebih berkualitas. Tapi semoga anggapan itu muncul sekadar dari sinisme dan semangat untuk memperkenalkan dan mempertahankan argumen atas sesuatu yang dinilai lebih bagus.

Dilihat dari selera musik, misalnya, jakartabeat.net memperkenalkan nama-nama yang baru terkenal di tingkat komunitas terbatas, namun penggemarnya fanatik, dan diapresiasi secara gila-gilaan. Jadi persoalannya sebenarnya bukan tidak terkenal, tetapi belum mendunia karena berbagai alasan. Tentu tidak semua orang segera bisa menikmati Explosions in the Sky, Arcade Fire, Tears for Fears, Neutral Milk Hotel, atau yang lebih ekstrem seperti Slayer, The Mars Volta, Sunn O))), atau musik etnik Arab dan Afrika. Jangankan bisa mendengarkan, kepikiran untuk bisa mengakses musik-musik seperti itu pun hanya mungkin dilakukan oleh kalangan tertentu (alias elite) yang punya niat menggelegak di dada.

Lebih terasa elite lagi ketika karya musik tadi tak sekadar didendangkan atau disetel seperti dalam acara-acara musik lip-synch di berbagai stasiun televisi sekarang ini, tetapi dikuliti dalam konteks sosial yang luas atau ditarik dalam penghayatan kenikmatan personal yang bisa sangat subtil. Lebih mengutamakan selera dan kritik daripada sekadar gegap gempita bunyi dan nada. Begitulah kira-kira kredo jurnalisme musik yang muncul di sini. "Aduh, kok repot amat sih mau dengar musik saja?" begitu mungkin terdengar omelan orang. Begitulah. Komunitas jakartabeat.net percaya bahwa karya musik merupakan upaya menangkap semangat zaman atau memahami pergolakan kegelisahan pribadi, bukan alat untuk merayu, mencari popularitas dadakan, atau meramaikan industri.

Dari sisi humaniora kurang-lebih serupa. Para kontributor jelas tidak tertarik mendiskusikan ide pasaran seperti trend asesoris, misalnya, melainkan terbelah ke dalam perenungan personal atau persoalan berat dan besar terkait urusan negara, kegelapan sejarah, perdebatan agama, perubahan politik, strategi ekonomi negara, atau perubahan sosial-budaya. Sekalipun semua persoalan itu melibatkan massa, toh orang secara personal lebih sibuk dengan agenda dan target pribadi. Maka para kontributor bisa mendiskusikan urusan itu dengan pandangan yang jernih, detil, faktual, dan bahkan menggugat otoritas---meski sekali lagi bisa jadi pembaca akan menggugat dengan ketus, "Lantas apa pengaruhnya semua itu pada masyarakat langsung?" Kita tahu diskusi sejenis itu memang mencerahkan pikiran, tapi jelas gagal menghentikan kelaparan atau pertumpahan darah di tingkat bawah, kecuali dibarengi oleh kebaikan personal.

Dari ciri-ciri yang muncul dari isinya, mungkin kita boleh tebak-tebakan buah manggis bahwa buku ini mencerminkan kelas menengah-atas Indonesia di dekade awal abad ke-21. Para kontributornya berasal dari kalangan terdidik yang profesional (apa pun pekerjaannya), akademisi, politisi, juga peneliti. Lepas dari persoalan finansial dan kegelisahan personal yang bisa menjerat kalangan ini, mereka masih punya kesempatan untuk menikmati hidup secara maksimal, mengembangkan karir sampai puncak, bahkan sangat adaptif bila terjadi perubahan besar-besaran di sosial. Pokoknya menjalani hidup secara utuh dan seimbang. Basis pengetahuan mereka kuat, punya karakter, sementara modal kapital dan sosialnya kerap saling mendukung bila salah satu di antara mereka mengalami kejatuhan. Karena itu bila penerbit mengaku bahwa alasan terbitnya buku ini ialah fetisisme, itu justru tanda kejujuran yang hanya dimiliki orang berani. Mustahil dimiliki orang hipokrit. Untuk apa berharap duit bila yang dicari ialah kepuasan dan kebahagiaan bisa datang sendiri?

Silakan baca buku ini atau langsung jelajahi situs jakartabeat.net. Meski mungkin nanti masih tersisa ruang untuk kritik, perdebatan, dan penjelajahan lain, jangan lupa untuk memberi tanda "like this."[]

Anwar Holid, salah satu kontributor jakartabeat.net. Penulis dan editor. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com

SITUS TERKAIT
http://jakartabeat.net