Monday, September 28, 2015



Numpang Mobil Pak Direktur Penerbit
--Anwar Holid

Beberapa hari lalu aku ke Jakarta numpang mobil seorang direktur penerbit. Jujur saja, nama penerbitnya itu masih asing, kurang terkenal, dan sama sekali bukan tipe penerbit favoritku. Tapi apalah arti seleraku dibanding keberhasilan seseorang menumbuhkan dan merawat perusahaannya? Tentu aku harus salut atas keberhasilannya.

Aku baru berkenalan dengan pak direktur ini karena kami sama-sama aktif di sebuah grup penerbitan. Aku mendapati beliau ternyata mudah akrab dan suka bicara banyak hal, termasuk soal perusahaan dan kisahnya menjadi pelaku industri penerbitan. Karena baru kenal, aku menerima begitu saja ceritanya dan menganggap itu sebagai kebenaran. Selama di perjalanan aku coba tertarik pada ceritanya dengan sekali-kali sengaja memancing lebih dalam bagaimana dia mendirikan dan membangun perusahaannya. Awalnya aku menyangka akan mendengar omongan bombastik seorang bos atas kesuksesannya---apa pun tarafnya---tapi ternyata tidak. Yang aku dengar malah cerita seseorang yang antusias bagaimana dirinya terlibat dengan dunia buku dan bagaimana ia mencari celah ladang penghidupan di dalamnya.

Ceritanya waktu masih mahasiswa di salah satu universitas paling top di negeri ini, ia mencari tambahan uang saku dengan menjual buku dari masjid ke masjid yang bertebaran di seputar kampus dan kotanya. Sebagai aktivis kampus, dia selalu ingin praktik membuktikan bacaan, pengetahuan, dan idealisme. Sebagai mahasiswa, dia ingin mengenalkan dan menularkan buku-buku yang menurutnya 'mencerahkan', intelek, bisa mengangkat derajat pembacanya ke level di atas rata-rata. Hasilnya? Tak ada satu pun buku yang dijajakannya laku.

Sebagai mahasiswa pejuang, dia tak menyerah dengan mudah. Dia berusaha memperbaiki cara menjual dan menawarkan. Dia yakinkan bahwa bahwa buku-buku rekomendasinya pantas dikonsumsi masyarakat yang setiap hari datang ke masjid. Bayangkan berapa banyak masjid bertebaran di kota-kota di Indonesia? Berapa besar potensi pasarnya? Makanya dia tetap semangat.

Tapi setelah dicoba berkali-kali satu-dua tahun, strateginya tak ada yang mempan. Dia kecapekan dan keberatan membawa dagangannya yang tetap saja seret. Sedikit saja bukunya laku. Dia bilang, 'Ini bagaimana? Apa dari sekian banyak orang Islam tak ada yang suka baca? Malas beli buku buat pengetahuan dan masa depannya? Apa tidak bisa dianggarkan dari uang sumbangan masyarakat? Padahal di masjid kecil sekalipun kan minimal ada Al-Quran, ada rak kecil buat menyimpan bahan bacaan.' Dia mulai mengeluh dan sedikit putus asa.

Sambil kembali membawa gembolan buku jualannya ke kamar kos, dia pikir-pikir kenapa barang dagangannya cuma laku satu-dua? Itu pun bukan jenis buku favoritnya. Akhirnya dia dalami satu demi satu isi buku jualannya. Dia cari bagian paling penting, paling relevan, atau apa isi yang kira-kira paling laku dijual. Dengan begitu dia makin tahu isi buku dan makin pintar berusaha meyakinkan orang bahwa buku itu memang dibutuhkan. Strategi ini cukup berhasil. Jualannya mulai laku. Dia menemukan celah bagaimana menjual dan memasukkan buku agar bisa dibeli baik oleh pengurus masjid ataupun jemaahnya.

Namun dari buku-buku jualannya, dia tetap heran kenapa ada jenis buku tertentu yang tetap saja seret? Mau 'digimana-gimanain' tetap saja tidak laku. Jangankan laku, dicoba yakinkan saja tetap terlalu sulit. Dan ini biasanya terjadi pada buku kelas utama, yang menurut dirinya sebagai orang terdidik, ialah buku babon yang merupakan rujukan utama, adikarya, dinilai tinggi oleh kalangan tertenu. Dengan berbagai cara pun buku itu tetap saja sulit laku---tak peduli jenisnya, entah agama, karya sastra, kajian sosial-budaya, sejarah, politik, juga sains. Ini yang salah cara jualnya, pasarnya, atau kemasan barang dagangannya?

Kesulitan menjual itu memunculkan spekulasi dalam dirinya: ada buku tertentu memang tak sesuai dengan pangsa pasar kebanyakan, tak bisa dijual massal, cuma diminati sedikit orang khusus yang punya intelektual atau ketertarikan tertentu. Sebagian besar buku ialah barang kodian. Dengan pendekatan, iming-iming, dan trik tertentu buku seperti ini mudah sekali laku---dan buku seperti inilah yang banyak-banyak akan diproduksi  penerbit.

Belajar dan berbekal pengalamannya menjual buku, dia menemukan celah penghidupan. Dia memberanikan mendirikan penerbit dan pintar-pintar bersiasat menerbitkan buku yang punya potensi pasar. Caranya? 'Saya mainkan judul, perhatikan isi bukunya seperti apa, sajikan dengan mudah, yang gampang diterima calon pembaca, jangan yang susah-susah. Alhamdulillah dengan cara ini buku kami tak ada yang numpuk di gudang.'

Bagaimana dengan buku babon yang justru merupakan bacaan favoritnya? 'Biarlah buku seperti itu diterbitkan oleh orang lain yang lebih mampu melakukannya. Saya mah begini saja.'

Dia akui penerbitnya berusaha merespons pasar secepat mungkin. Begitu lihat gejala muncul trend tertentu, segera diterbitkan buku jenis itu untuk memenuhi 'kebutuhan' pasar. Kelihatannya reaktif, tapi membuat penerbitannya dinamik, kreatif, dan terus berproduksi. Begitu trend hilang, buku jenis itu dihapus dari gudang. Dia kesulitan mencari buku yang bersifat 'abadi.' Itu sebabnya dia mengaku tak punya penulis terkemuka, yang high profile. Terbitannya pun bukan macam buku yang suka diresensi oleh kritikus kelas berat di media terkemuka. 'Bukan buku yang bisa dibawa ke Frankfurt Book Fair he he he...' katanya terkekeh merendah.

Dengan segala kerja keras dan pencapaiannya, aku tetap salut pada pak direktur ini. Beliau sudah susah-payah berusaha, setia pada profesi, belajar, dan pada tahap tertentu jauh lebih berhasil secara finansial dibanding aku---minus dia tak cerita berapa banyak utangnya. Dia juga aktif berbuat ini-itu di asosiasi penerbitan. Beliau punya perusahaan, aset, karyawan, termasuk mobil operasional---yang meskipun butut tetap bisa diandalkan buat banyak hal, termasuk aku tumpangi. Saking butut, AC mobil ini mengeluarkan hawa panas. Jadilah badan kami yang di dalamnya malah seperti dibaluri Geliga. Tapi sungguh aku tak menyesal menumpang mobil ini. Aku tak melihat ini sebagai kekurangan. Aku malah salut. Aku merasakan keramahan, keikhlasan, dan kebaikannya. Dengan mobil ini beliau menolong orang lain, membantu, melayani. Sementara aku dapat banyak hal: tumpangan gratis, cerita, dan pelajaran menarik. Buatku, mobil ini bakal jadi legendaris.[]

Foto ilustrasi milik Terra Tones. Sumber: Internet.